top of page

Pendidikan Membangun Karakter

 Di bawah ini tersaji beberapa rangkuman paparan mengenai pendidikan karakter yang terdiri dari sub-sub penjelasan sebagai berikut:

 

 

  1. Pendahuluan

  2. Beberapa manifestasi  krisis karakter di indonesia

  3. Beberapa penyebab krisis karakter di indonesia

  4. Karakter dan pembangunan  karakter

  5. Beberapa persyaratan  untuk peningkatan kontribusi pendidikan formal dalam pembangun karakter.

  6. Pendidikan untuk membangun karakter: mulai dari mana.

 

“Bacalah secara menyeluruh untuk terbangunnya pemikiran yang utuh dalam cara pandang kita, karena pemahaman yang sepotong-potong seringkali berakibat membuat kita tidak adil dalam menilai sesuatu”

So.....Smangat meraup ilmu...!

 

 

PENDIDIKAN MEMBANGUN KARAKTER

Gede Raka[*]

 

 

 

PENDAHULUAN

       Sampai saat ini pemerintah Indonesia atau para pembuat kebijakan melakukan berbagai usaha agar bangsa ini bisa  keluar dari dampak  krisis ’ekonomi’ yang menerpa Indonesia pada tahun 1998. Negara-negara tetangga kita bisa lebih cepat bangkit  karena mereka hanya mengalami masalah ekonomi. Masalah perekonomian bisa  diatasi dengan kebijakan ekonomi. Namun akar krisis ’ekonomi’ Indonesia jauh lebih dalam, yaitu krisis karakter . Krisis  ekonomi ini hanyalah  salah satu wujud dari  krisis karakter yang diderita bangsa Indonesia. Sebab itu krisis ekonomi di Indonesia disertai dengan konflik sosial yang dahsyat, berupa konflik horizontal yang berbau SARA, dan konflik ini berkepanjangan. Hal ini tidak terjadi di Malaysia, atau Thailand, atau di Korea Selatan. Oleh karena itu, penanganan dampak  krisis hanya dengan kebijakan ekonomi saja hasilnya akan sangat terbatas dan sementara. Indonesia memerlukan perbaikan yang lebih mendasar yaitu perbaikan karakter.

       Dalam pergaulan dunia yang makin tanpa batas, suatu bangsa yang tanpa karakter, secara potensial memikul risiko sangat besar. Bukan saja bangsa yang bersangkutan akan mengalami krisis ekonomi dan sosial, namun kalau tidak hati-hati,  eksistensinya sebagai suatu bangsa bisa berakhir, dan bahkan berakhir secara tragis. Tengoklah beberapa negara di Afrika sekarang ini. Konflik horizontal antar kelompok atau antar suku, atau antar agama, yang makan korban jiwa sangat banyak, praktis telah menggiring negara-negara yang bersangkutan kepinggir jurang kehancuran, walaupun beberapa diantaranya adalah bangsa atau negara yang kaya sumber daya alam.

       Disamping memperkecil risiko kehancuran, karakter juga menjadi modal yang sangat untuk bersaing dan bekerja sama secara tangguh dan terhormat di tengah-tengah bangsa lain. Karakterlah yang membuat bangsa Jepang cepat bangkit sesudah kekalahannya dalam Perang Dunia II dan meraih kembali martabatnya di dunia internasional. Karakterlah yang membuat bangsa Vietnam tidak bisa ditaklukkan, bahkan mengalahkan  dua bangsa yang secara teknologi dan ekonomi jauh lebih maju, yaitu Perancis dan Amerika. Pembangunan kararkterlah yang membuat Korea Selatan sekarang jauh lebih maju dari Indonesia, walaupun pada tahun 1962 keadaan kedua negara secara ekonomi dan teknologi hampir sama. Pembangunan karakterlah yang membuat para pejuang kemerdekaan berhasil menghantar bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaannya.

       Risalah ini akan menyoroti beberapa keadaan yang menunjukkan krisis karakter yang sedang dialami Indonesia, beberapa penyebab dari krisis tersebut, dan usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam pendidikan, khususnya pendidikan formal agar kontribusinya lebih besar dalam pembangunan karakter.

 

BEBERAPA MANIFESTASI  KRISIS KARAKTER DI INDONESIA

       Dalam kasus  Indonesia,  krisis karakter,  mengakibatkan bangsa Indonesia kehilangan kemampuan untuk mengerahkan potensi masyarakat  guna  mencapai cita-cita bersama. Krisis karakter ini seperti penyakit akut yang terus menerus melemahkan jiwa bangsa, sehingga bangsa kita kehilangan kekuatan untuk tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang maju dan bermartabat di tengah-tengah bangsa lain di dunia.

       Krisis karakter di Indonesia tercermin dalam banyak fenomena sosial ekonomi yang secara umum dampaknya menurunkan kualitas kehidupan masyarakat luas. Korupsi, mentalitas peminta-minta, konflik horizontal dengan kekerasan, suka mencari kambing hitam, kesenangan merusak diri sendiri, adalah beberapa ciri masyarakat yang mengalami krisis karakter.

 

Korupsi.

       Korupsi adalah salah satu bentuk krisis karakter yang dampaknya sangat buruk bagi bangsa Indonesia. Korupsi menjadi penghambat utama kemajuan ekonomi bangsa ini, dan pada gilirannya menjadi sumber dari berkembangnya kemiskinan di Indonesia. Dalam pergaulan internasional, posisi Indonesia sebagai salah satu negara  yang terkorup di dunia telah menyebabkan bangsa ini kehilangan martabat di tengah-tengah bangsa lain. Korupsi  terjadi karena orang-orang  kehilangan beberapa karakter baik, terutama sekali   kejujuran ,  pengendalian diri (self regulation), dan tanggung jawab sosial. .

 

Kesenangan merusak diri sendiri.

       Di samping korupsi, memudarnya karakter di Indonesia ditunjukkan oleh meningkatnya ‘kesenangan’ dari sebagian warganya terlibat dalam kegiatan atau aksi aksi yang berdampak merusak atau menghancurkan diri –bangsa kita-  sendiri (act of self distruction). Ketika bangsa-bangsa lain bekerja keras mengerahkan potensi masyarakatnya untuk meningkatkan daya saing negaranya, kita di Indonesia sebagian dari kita malah dengan bersemangat memakai energi masyakat untuk mencabik-cabik dirinya sendiri, dan sebagian besar yang lain  terkesan  membiarkannya.   Memecahkan perbedaan pendapat atau pandangan dengan menggunakan kekerasan, secara sistematik mengobarkan  kebencian untuk memicu konflik horizontal atas dasar SARA, dan menteror bangsa sendiri adalah beberapa bentuk dari kegiatan merusak diri sendiri. Ini terjadi karena makin memudarnya nilai-nilai kemanusiaan yang mencakup semangat dan kesediaan untuk bertumbuh kembang bersama, secara damai,  dalam kebhinekaan.

 

Hipokrisi atau Kemunafikan.

       Di atas telah disampaikan bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia. Namun, di pihak lain masyarakat Indonesia nampaknya adalah masyarakat yang sangat rajin melakukan kegiatan keagamaan. Bahkan tidak jarang orang Indonesia membanggakan diri sebagai masyarakat yang hidupnya sangat religius, dan sepanjang yang saya ketahui, tindakan korupsi, atau mengambil yang bukan haknya atau milik orang lain, seperti juga mencuri, dilarang oleh semua agama. Sungguh sebuah ‘keganjilan’ bahwa masyarakat yang merasa  riligius namun negaranya penuh korupsi. Lebih memprihantinkan lagi adalah bahwa menurut salah seorang penjabat KPK, lembaga negara yang paling korup adalah Departemen Agama [1]. Apabila pernyataan tersebut didasarkan pada data yang dapat dipercaya, maka hal ini adalah contoh yang paling nyata dari hipokrisi di Indonesia, di samping sekian banyak contoh yang lain. Hipokrisi atau kemunafikan mengandung arti kepura-puraan atau menyuruh atau menasihati  orang lain melakukan hal yang baik namun dia sendiri melakukan hal sebaliknya.

 

Mentalitas makan siang gratis.

       Berkembangnya mentalitas ‘makan siang gratis’, adalah fenomena lain yang menunjukkan krisis karakter. Ini adalah sikap mental yang memandang bahwa kemajuan bisa diperoleh secara mudah, tanpa kerja keras, bisa dicapai dengan menandahkan tangan dan dengan menuntut kekiri dan kekanan..

 

Kesenangan mencari kambing hitam.

       Kebiasaan menimpakan kesalahan kepada orang lain, merupakan salah satu karakter yang menghambat kemajuan. Ini bukan kekuatan, namun kelemahan. Di masa lalu kita masih sering mendengar banyak orang menyatakan bahwa sulitnya Indonesia mencapai kemajuan lama sesudah kemerdekaan adalah akibat ulah penjajah Belanda. Dalam mencari penyebab  rusaknya ekonomi Indonesia sekarang kita punya kambing hitam baru,  konpirasi Amerika Serikat, IMF, World Bank, dan akibat dominasi golongan minoritas. Seandainya sinyalemen itu benar, sebenarnya ada cara bertanya yang lain: ’Apa yang salah dengan bangsa kita yang menyebabkan kita beratus-ratus tahun bisa dijajah oleh Belanda -kerajaan yang sangat kecil dari jumlah penduduk dan luas wilayah;  bisa menjadi korban konspirasi Amerika Serikat, IMF dan World Bank, dan kelompok mayoritas belum bisa menguasai sebagaian besar kegiatan ekonomi di Indonesia ? Pertanyaan terakhir ini jarang sekali dikemukakan, karena adanya arogansi bahwa ’kami selalu benar’. Akibatnya, bangsa kita kurang bisa belajar dari pengalamannya sendiri, dan kurang mampu berubah ke arah yang lebih baik karena merasa bahwa tak ada yang perlu diperbaiki pada diri kita.

 

 

BEBERAPA PENYEBAB KRISIS KARAKTER DI INDONESIA

 

Surutnya idealisme, berkembangnya pragmatisme ‘overdoses’.

       Selama  tiga dekade, di masa pemerintahan Presiden Soeharto kita hidup di bawah doktrin ‘ekonomi sebagai panglima’. Ini dianggap sebagai koreksi terhadap doktrin dari pemerintah sebelumnya yang dianggap mempanglimakan politik. Sebagai konsekuansi logisnya, keberhasilan atau kemajuan cenderung hanya dilihat dari besaran-besaran yang bisa diukur dalam variabel ekonomi, khususnya pertumbuhan ekonomi. Hal-hal yang tidak bisa diukur dalam besaran ekonomi lalu cenderung  dianggap tidak penting. Atau diabaikan. Memang benar pertumbuhan ekonomi itu perlu untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk dan meningkatkan pendapatan per kapita. Namun hal itu hendaknya jangan dicapai dengan mengorbankan hal-hal yang kelihatannya tidak ‘ekonomik’, seperti harga diri bangsa, kohesivitas masyarakat dan etika. Kecenderungan yang terlalu mengedepankan keberhasilan ekonomi (jangka pendek) telah membuat  sebagian dari masyarakat terperangkap dalam pragmatisme yang overdoses, dan kemudian terjebak dalam sikap atau perilaku ‘tujuan menghalalkan cara’. Idealisme saat itu tidak penting, bahkan sering menjadi bahan cemoohan. Ini adalah era di mana banyak orang percaya bahwa orang jujur tidak bisa maju secara ekonomik

 

Kurang Berhasil  Belajar dari Pengalaman  Bangsa Sendiri.

       Dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa kita,  untuk mencapai kemerdekaan ada perubahan cara berjuang dari berjuang dengan mengandalkan kekuatan atau modal fisik menjadi berjuang dengan mengandalkan kekuatan atau modal maya. Beberapa pahlawan Nasional kita, seperti Pattimura, Diponegoro, Teuku Umar, mengangkat senjata, mengobarkan peperangan untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia. Mereka adalah tokoh-tokoh yang gagah berani yang tidak takut mempertaruhkan nyawanya untuk sebuah cita-cita luhur. Namun demikian, mereka belum berhasil mengalahkan penjajah lewat kekuatan senjata.

 

     Generasi berikutnya, Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, Dr Sutomo, dan pejuang seangkatannya memilih memperjuangkan kemerdekaan dengan kekuatan intelektual mereka, dengan membangun modal sosial, dan membangun kredibilitas di dunia internasional. Mereka membangun partai politik, mereka meningkatkan kecerdasan rakyat, membangun kesadaran baru yaitu kesadaran sebagai satu bangsa, mengembangkan visi atau idealisme, membangkitkan kepercayaan diri, menumbuhkan rasa harga diri, membangkitkan semangat, menumbuhkan keberanian dan kerelaan berkorban. Mereka membangun kredibilitas kepemimpinan mereka di mata internasional. Semua hal yang mereka bangun bersifat maya, tidak satupun bersifat fisik. Untuk mengembangkan kemampuan membangun modal maya ini, mereka tidak segan-segan belajar dari pengalaman bangsa lain, dari pemikir dan pejuang besar di dunia.  Memang menjelang dan beberapa waktu sesudah proklamasi kemerdekaan ada perjuangan bersenjata. Namun perjuangan bersenjata tersebut adalah  bagian dari strategi perjuangan yang lebih besar yang berdasarkan kecerdasan.

 

      Uraian ini tidak dimaksudkan untuk mengajak orang-orang kembali ke romantisme masa lalu, namun untuk menyadarkan kita bahwa konsep modal maya bukanlah hal yang sama sekali baru bagi masyarakat kita. Para pejuang kemerdekaan sudah menerapkan bahkan sebelum istilahnya dikenal, dan pernah berhasil dalam membangun dan memanfaatkannya.

 

KARAKTER DAN PEMBANGUNAN  KARAKTER

 

Karakter.

       Di sini yang dimaksud dengan karakter adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group’ [2]. Kamus Besar Bahasa Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai: sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat. Dalam risalah ini, dipakai pengertian yang pertama, dalam arti bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang  berkarakter’ adalah orang punya kualitas moral (tertentu) yang positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk.

 

       Peterson dan Seligman, dalam buku ’Character Strength and Virtue’ [3],   mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Dalam kaitannya dengan kebajikan, Peterson dan Seligman mengidentifikasikan 24 jenis karakter.

 

Membangun karakter.

       Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini tumbuh dan berkembang dengan didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan dan sikap orang yang bersangkutan. Dengan demikian, karakter bersifat inside-out, dalam arti bahwa perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik ini terjadi karena adanya dorongan dari dalam, bukan karena adanya paksaan dari luar. Ada orang yang menyatakanan bahwa ’turis’ Indonesia yang bepergian ke Singapura atau Jepang akan berperilaku tertib di jalan raya atau di tempat-tempat umum, karena aturan yang sangat tegas dan keras di sana. Namun, saat pulang kembali ke Indonesia, mereka  kembali pada kebiasaan lama, yaitu ’liar’ di jalan raya, tidak peduli tata-krama dan aturan lalu lintas. Jadi, perilaku tertib di Singapura atau Jepang bukanlah karakter orang-orang  yang bersangkutan.

 

       Dalam pendidikan karakter, mengetahui apa yang baik saja tidak cukup. Yang sangat penting adalah menyemaikan kebaikan tersebut di hati dan mewujudkannya dalam tindakan, perbuatan dan/atau perilaku. Dalam penataran Pedoman Pengamalan dan Penghayatan Pancasila (P4) pada masa Orde Baru, semua peserta penataran diberitahu dan jadi tahu apa yang baik. Namun dalam kenyataan, banyak mantan peserta penataran yang tidak berperilaku atau bahkan berperilaku bertententangan dengan hal-hal baik yang sudah diketahuinya. Sebab itu, peran substansi pendidikan dalam pengembangan karakter pengaruhnya akan sangat terbatas bahkan akan tidak ada apabila tidak disertai oleh proses dan suasana pendidikan yang mendukung. Proses dan suasana inilah yang akan menggugah kesadaran, menguatkan keyakinan, menumbuhkan sikap yang menjadi dasar dari perilaku yang berkembang menjadi kebisaan baik dan kemudian karakter. Dalam pendidikan karakter, menunjukkan ketauladan, mengamati dan meniru tokoh panutan serta membangun lingkungan yang mencerminkan kebaikan, akan  lebih nyata pengaruhnya  daripada  memberitahu atau menyuruh seseorang berbuat baik, apalagi kalau yang memberitahu atau menyuruhnya justru melakukan hal-hal yang tidak baik. 

 

       Membangun keyakinan, dan sikap yang mendasari kebiasaan baik bukan usaha ’sekali tembak’, namun merupakan proses yang berlangsung sedikit demi sedikit secara berkelanjutan. Membangun karakter melalui penataran yang indoktrinatif selama seminggu atau dua minggu atau bahkan sebulan, tidak akan banyak membawa hasil. Jadi,  upaya pembangunan karakter melalui pendidikan dengan menjadikannya sebuah   proyek, tidak akan ada hasilnya. Pembangunan karakter hendaknya dijalankan sebagai upaya berkelanjutan yang ditanam pada semua susbstansi, proses dan iklim pendidikan.

 

Individu dan Lingkungan.

       Proses pembangunan karakter pada seorang dipengaruhi oleh faktor-faktor khas yang ada pada orang yang bersangkutan yang sering juga disebut faktor bawaan (nature) dan lingkungan (nurture) di mana orang yang bersangkutan tumbuh dan berkembang. Namun demikian perlu diingat, bahwa faktor bawaan boleh dikatakan  berada di luar jangkauan masyarakat untuk mempengaruhinya. Hal yang berada dalam pengaruh kita, sebagai individu maupun bagian dari masyarakat, adalah faktor lingkungan. Jadi, dalam usaha  pengembangan atau pembangunan karakter pada tataran individu dan masyarakat, fokus perhatian kita adalah pada faktor yang bisa kita pengaruhi atau lingkungan, yaitu pada pembentukan lingkungan. Dalam pembentukan lingkungan inilah  peran lingkungan pendidikan menjadi sangat penting, bahkan sangat sentral,  karena pada dasarnya karakter adalah kualitas pribadi seseorang yang terbentuk melalui proses  belajar, baik belajar secara formal maupun informal.

 

       Banyaknya aktor atau media yang mempengaruhi pembentukan karakter ini menyebabkan pendidikan untuk pengembangan karakter bukan sebuah usaha yang mudah. Secara normatif, pembentukan atau pengembangan karakter yang baik memerlukan kualitas lingkungan yang baik juga. Dari sekian banyak aktor atau media yang berperan dalam pembentukan karakter, dalam risalah ini akan dilihat peran tiga media yang saya yakini sangat besar pengaruhnya yaitu: keluarga, media masa, lingkungan sosial, dan pendidikan formal.

 

Keluarga.

       Keluarga adalah komunitas pertama di mana manusia, sejak usia dini, belajar konsep baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah. Dengan kata lain, di keluargalah seseorang,  sejak dia sadar lingkungan,  belajar tata-nilai atau moral. Karena tata-nilai yang diyakini seseorang akan tercermin dalam karakternya, maka di keluargalah proses pendidikan karakter berawal. Pendidikan di keluarga ini akan menentukan seberapa jauh seorang anak dalam prosesnya menjadi orang yang lebih dewasa, memiliki komitmen terhadap nilai moral tertentu seperti kejujuran, kedermawanan, kesedehanaan, dan menentukan bagaimana dia melihat dunia sekitarnya, seperti memandang orang lain yang tidak sama dengan dia –berbeda status sosial, berbeda suku, berbeda agama, berbeda ras, berbeda latar belakang budaya. Di keluarga juga seseorang mengembangkan konsep awal mengenai keberhasilan dalam hidup ini atau pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan hidup yang berhasil, dan wawasan mengenai masa depan.

 

       Dari sudut pandang pentingnya keluarga sebagai basis pendidikan karakter, maka tidak salah kalau krisis karakter yang terjadi di Indonesia sekarang ini bisa dilihat sebagai salah satu cerminan gagalnya pendidikan di keluarga. Korupsi misalnya, bisa dilihat sebagai kegagalan pendidikan untuk menanamkan dan menguatkan nilai kejujuran dalam keluarga. Orang tua yang membangun kehidupannya di atas tindakan yang korup, akan sangat sulit menanamkan nilai kejujuran pada anak-anaknya. Mereka mungkin tidak menyuruh anaknya agar menjadi orang yang tidak jujur, namun mereka cenderung tidak akan melihat sikap dan perilaku jujur dalam kehidupan sebagai salah satu nilai yang sangat penting yang harus dipertahankan mati-matian. Ini mungkin bisa dijadikan satu penjelasan mengapa korupsi di Indonesia mengalami alih generasi. Ada pewarisan sikap permisif terhadap korupsi dari satu generasi ke generasi berikutnya.

 

Media masa.

       Dalam era kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi sekarang ini, salah satu faktor yang berpengaruh sangat besar dalam pembangunan atau sebaliknya  juga perusakan karakter masyarakat atau bangsa adalah media massa,  khususnya media elektronik, dengan pelaku utamanya adalah televisi. Sebenarnya besarnya peran media, khususnya media cetak dan radio, dalam pembangunan karakter bangsa telah dibuktikan secara nyata oleh para pejuang kemerdekaan. Bung Karno, Bung Hattta, Ki Hajar Dewantoro, melakukan pendidikan bangsa untuk menguatkan karakter bangsa melalui tulisan-tulisan di surat kabar waktu itu. Bung Karno dan Bung Tomo mengobarkan semangat perjuangan, keberanian dan persatuan melalui radio. Mereka, dalam keterbatasannya, memanfaatkan secara cerdas dan arif teknologi yang ada pada saat itu untuk membangun karakter bangsa, terutama sekali: kepercayaan diri bangsa, keberanian, kesediaaan berkorban, dan rasa persatuan. Sayangnya kecerdasan dan kearifan yang telah ditunjukkan generasi pejuang kemerdekaan dalam memanfaatkan media massa untuk kepentingan bangsa makin sulit kita temukan sekarang. Media massa sekarang memakai teknologi yang makin lama makin canggih. Namun tanpa kecerdasan dan kearifan, media massa yang didukung teknologi canggih tersebut justru akan melemahkan atau merusak karakter bangsa. Saya tidak ragu mengatakan, media elektronik di Indonesia , khususnya televisi, sekarang ini kontribusinya ’nihil’ dalam pembangunan karakter bangsa. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa tidak ada program televisi yang baik. Namun sebagian besar program televisi justru lebih menonjolkan karakter buruk daripada karakter baik. Sering kali pengaruh lingkungan keluarga yang baik justru dirusak oleh siaran media televisi. Di keluarga, anak-anak dididik untuk menghindari kekerasan, namun acara TV justru penuh dengan adegan kekerasan. Di rumah, anak-anak dididik untuk hidup sederhana, namun acara sinetron di tevisi Indonesia justru memamerkan kemewahan. Di rumah anak-anak dididik untuk hidup jujur, namun tayangan di televisi Indonesia justru secara tidak langsung menunjukkan ’kepahlawanan’ tokoh-tokoh yang justru di mata publik di anggap ’kaisar’ atau ’pangeran-pangeran’ koruptor. Para guru agama mengajarkan bahwa membicarakan keburukan orang lain dan bergosip itu tidak baik, namun acara televisi, khususnya infotainment, penuh dengan gosip. Bapak dan ibu guru di sekolah mendidik para murid untuk berperilaku santun, namun suasana sekolah di sinetron Indonesia banyak menonjolkan perilaku yang justru tidak santun dan melecehkan guru. Secara umum, banyak tayangan di televisi Indonesia, justru ’membongkar’ anjuran berperilaku baik yang ditanamkan di di rumah oleh orang tua dan oleh para guru di sekolah.

 

Pendidikan formal.

    Pendidikan formal, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, diharapkan berperan besar dalam pembangunan karakter. Lembaga-lembaga pendidikan formal diharapkan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun demikian pengalaman Indonesia selama empat dekade terakhir ini menunjukkan bahwa sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dengan cara-cara pendidikan yang dilakukannya sekarang belum banyak berkontribusi dalam hal ini. Di atas telah diuraikan, kecenderungan lembaga pendidikan formal yang merosot hanya menjadi lembaga-lembaga pelatihan adalah salah satu sumber penyebabnya. Pelatihan memusatkan perhatian pada pengembangan keterampilan dan pengalihan pengetahuan. Sedangkan pendidikan mencakup bahkan mengutamakan pengembangan jati diri atau karakter, tidak terbatas hanya pada pengalihan pengetahuan atau mengajarkan keterampilan. Harus diakui bahwa pendidikan formal di sekolah-sekolah di Indonesia, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, secara umum menghabiskan bagian terbesar waktunya untuk melakukan pelatihan daripada pendidikan. Kegiatan pendidikan telah teredusir menjadi kegiatan ’mengisi’ otak para siswa sebanyak-banyaknya, dan kurang perhatian pada perkembangan ’hati’ mereka. Keberhasilan seorang guru diukur dari kecepatannya ’mengisi’ otak para siswanya. Sekolah menjadi ’pabrik’ untuk menghasilkan orang-orang yang terlatih, namun belum tentu terdidik. 

 

      Namun demikian, ini tidak berarti bahwa secara praktek pendidikan sama sekali terpisah dari pelatihan. Dalam pendidikan dikembangkan juga berbagai keterampilan. Namun pengembangan keterampilan saja tidak dengan sendirinya berarti pendidikan, walaupun hal itu dilakukan pada lembaga yang secara resmi diberi nama lembaga pendidikan, seperti universitas, institut teknologi, dan yang lainnya.

 

       Di pihak lain, seorang pelatih yang bermutu dapat dengan cerdas memakai kegiatan pelatihan menjadi kendaraan efektif untuk pendidikan. Pelatih sepak bola dapat memakai kegiatan pelatihan untuk menumbuhkan dan menguatkan sikap sportif, gigih, kerjasama tim, kesediaan berbagi, berlapang dada dalam kekalahan, dan rendah hati dalam kemenangan. Masalah kita sekarang, tanpa disadari sudah terjadi degradasi proses-proses dan program-program yang dimaksudkan untuk pendidikan menjadi proses dan program pelatihan. Di pihak lain belum nampak tanda-tanda kegiatan pelatihan dimanfaatkan secara optimal sebagai wahana untuk pendidikan.

 

BEBERAPA PERSYARATAN  UNTUK PENINGKATAN KONTRIBUSI PENDIDIKAN FORMAL DALAM PEMBANGUN KARAKTER.

 

Perubahan dalam Ukuran Keberhasilan Pendidikan.

 

     Agar pendidikan formal lebih besar perannya dalam pengembangan karakter maka ukuran keberhasilan dalam melaksanakan pendidikan haruslah memasukan dimensi karakter didalamnya. Sekarang ini ukuran keberhasilan yang diterjemahkan dalam  evaluasi hasil pendidikan  boleh dikatakan hanya menyertakan unsur-unsur kompetensi tertentu saja. Ujian Nasional yang berlaku sekarang ini, secara implisit diartikan bahwa keberhasilan pendidikan pada tingkat sekolah menengah atas hanya ditentukan oleh nilai dalam tiga mata pelajaran saja, yaitu nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

 

       Hal yang serupa terjadi juga di banyak perguruan tinggi. Pimpinan dan para staf akademik sebuah perguruan tinggi terkemuka mengeluh bahwa lulusannya sangat kurang dalam soft skill, seperti kurang bisa bekerja-sama dalam tim, kurang empati, sangat egosentris, cenderung arogan, dan mau menang sendiri. Keluhan ini sebenarnya tidak perlu dikemukakan, karena di perguruan tinggi ini ukuran keberhasilan adalah selesai tepat waktu dan IP yang tinggi. Ini tidak berarti bahwa selesai tepat waktu dan IP yang tinggi itu tidak perlu; kedua hal tersebut memang perlu. Namun, apabila hanya kriteria itu yang dipentingkan, maka jangan heran bahwa lulusannya kurang bisa bergaul, banyak yang tidak jujur, atau menjadi pengusaha yang tanpa tanggung jawab sosial. Di pihak lain, ada perguruan tinggi yang pada waktu wisuda memberikan piagam penghargaan kepada mahasiswa yang prestasi akademiknya tinggi, dan juga kepada para mahasiswa yang prestasinya dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat sangat baik. Cara penghargaan seperti ini secara langsung menyampaikan pesan kepada para mahasiswa bahwa pintar secara akademik itu penting, namun juga tidak kalah pentingnya adalah berkontribusi untuk kesejahteraan orang banyak. Selama dimensi karakter tidak menjadi bagian dari kriteria keberhasilan dalam pendidikan, selama itu pendidikan tidak akan berkontribusi banyak dalam pembangunan karakter.

 

Perubahan Cara Pandang Mengenai Sekolah: Sekolah Adalah Sebuah Komunitas, Bukan Mesin atau Pabrik.

       Disadari atau tidak, banyak pihak memandang atau memperlakukan sekolah sebagai sebuah pabrik. Para murid dipandang sebagai bahan baku atau input yang diolah dalam sebuah proses yang dilakukan oleh ‘mesin-mesin’ yang bernama guru atau dosen yang bekerja menurut sebuah program produksi yang namanya kurikulum. Dalam konsep pabrik, ’bahan baku’ tak punya hak untuk menentukan. Mereka ditentukan. Dosen atau pimpinan akademik bahkan menentukan seorang mahasiswa sebaiknya masuk ke jurusan atau program studi mana. Pandangan sekolah atau perguruan tinggi sebagai mesin ini tidak akan banyak berkontribusi dalam pembangunan karakter, karena cara pandang seperti ini membendakan manusia. 

 

     Untuk berperan dalam pembangunan karakter, sekolah atau perguruan tinggi hendaknya dilihat sebagai komunitas insani, di mana siswa/mahasiswa, guru atau dosen, semuanya adalah anggota komunitas yang punya tanggung jawab. Anggota komunitas adalah orang yang punya hak untuk memilih dan bertanggung jawab atas konsekuensi dari pilihannya. Di sini, siswa atau mahasiswa tidak diperlakukan sebagai sederet gelas kosong untuk diisi dengan cara yang seragam, namun diperlakukan sebagai individu yang memiliki potensi keunggulan yang beragam. Komunitas akan menjadi persemaian agar keunggulan ini mekar dan tumbuh subur. Dalam sebuah komunitas, kualitas dan intensitas interaksi diantara anggota komunitas sangat penting. Di samping itu, sebuah komunitas punya tata-nilai yang wajib dijadikan pedoman oleh semua anggota komunitas. Pada sebuah komunitas, para anggotanya belajar membedakan yang baik dari yang tidak baik, yang pantas dari yang tidak pantas. Dalam sebuah komunitas orang belajar norma-norma sosial, yang dapat menjadi salah satu sumber dalam pembentukan karakter seseorang. 

 

 

Guru dan Kepala Lembaga Pendidikan sebagai Pemimpin Transformasional.

     Pendidikan formal di sekolah atau perguruan tinggi tidak akan banyak berkontribusi pada pembangunan karakter apabila kepala lembaga pendidikan hanya melihat perannya dan melakukan tugas sebagai administrator, dan guru atau pengajar hanya melihat peran dan melakukan tugasnya hanya sebagai pengalih pengetahuan. Pendidikan untuk pembangunan karakter memerlukan pimpinan lembaga pendidikan dan pengajar yang juga berperan sebagai pemimpin transformasional, dan sebagai pembangun komunitas.

 

     Sebagai pemimpin transformasional, kepala lembaga pendidikan dan pengajar mengambangkan substansi, proses dan suasana belajar yang mencerahkan, menumbuhkan inspirasi, mengembangkan kepercayaan diri, menunjukkan kepedulian,  dan menggugah siswa atau mahasiswa untuk merumuskan atau menetapkan prinsip dan cita-cita hidup mereka masing-masing. Para pengajar mendorong para siswa atau mahasiswa untuk mengidentifikasikan atau memikirkan hal-hal yang berarti atau bermakna dalam kehidupan mereka. 

 

      Sebagai pembangun komunitas, kepala lembaga pendidikan dan pengajar berperan sebagai perekat, sebagai fasilitator, dalam meningkatkan kualitas dan intensitas interaksi diantara sesama anggota komunitas. Mereka perlu memberi perhatian pada pengembangan suasana atau iklim belajar yang mendorong dan memudahkan para siswa atau mahasiswa memunculkan potensi terbaik yang mereka miliki.

 

Menjadikan Semua Mata Pelajaran Sebagai Wahana Untuk Pengembangan Karakter.

     Pendidikan untuk pembangunan karakter hendaknya tidak diartikan sebagai membuat satu mata pelajaran baru dengan nama ’pembangunan karakter’. Pada dasarnya semua mata pelajaran yang diajarkan dapat dipakai wahana untuk mengembangkan karakter. Semua pelajaran dapat dimanfaatkan untuk menggugah, untuk memberi inspirasi, dan membuka kesempatan pada siswa dan para mahasiswa untuk meningkatkan kepercayaan diri, kegigihan, kejujuran, kedermawanan, optimisme dan karakter baik lainnya. Apabila dalam sebuah mata pelajaran, seorang siswa atau mahasiswa diberi kesempatan untuk mempresentasikan pendapatnya atau hasil observasi, atau hasil percobaannya di depan kelas, maka hal itu akan meningkatkan kepercayaan diri siswa atau mahasiswa yang bersangkutan. Apabila siswa atau mahasiswa bekerja dalam kelompok, mereka akan punya kesempatan untuk mengembangkan kebiasaan berbagi atau belajar toleran terhadap keanekaragaman.

 

Suasana  Belajar Yang Apresiatif.

        Suasana pendidikan di Indonesia sangat miskin apresiasi. Para pengajar sulit sekali menghargai atau memberi apresiasi terhadap keberhasilan atau kemajuan yang dicapai oleh para siswa atau mahasiswa. Para pengajar biasanya diam saja atau tidak mengatakan apa-apa apabila ada siswa atau mahasiswanya melakukan hal-hal yang baik. Mereka lebih suka melihat atau menyoroti atau mengomentari kekurangan yang ada pada seorang siswa atau mahasiswa. Secara umum, para pengajar lebih suka memberi umpan balik negatif daripada umpan balik positif, atau lebih suka menghukum daripada menghargai.

 

      Pengembangan suasana apresiatif justru memilih cara pendekatan sebaliknya. Pendekatan apresiatif didasarkan atas pandangan bahwa karakter atau kebiasaan baik  lebih mudah dan cepat dikembangkan dengan mengapresiasi kebajikan dan kekuatan yang ada pada seseorang, bukan dengan menyoroti keburukannya atau kelemahannya. Pendekatan ini tidak hanya mencari hal-hal baik atau keberhasilan yang menonjol atau spektakuler, namun memperhatikan kebaikan atau kekuatan atau keberhasilan sekecil apapun yang dimiliki atau telah dilakukan oleh seseorang dan mengapresiasinya. Beberapa penelitian di Institut Teknologi Bandung menunjukkan bahwa lingkungan yang apresiatif menguatkan rasa-kompeten atau rasa percaya diri [6], dan menguatkan perilaku inovatif pada seseorang [7].

 

     Bagaimana dengan kelemahan atau kebiasaan buruk yang ada pada seseorang? Apakah akan dibiarkan? Pendekatan ini meyakini bahwa kalau kebiasaan baik pada seseorang berkembang, kebiasaan buruknya akan berkurang. Ini adalah bagian dari strategi pembangunan karakter dengan bertumpu pada kekuatan dan kebajikan.

 

Lingkungan yang Menyediakan Ruang  Luas untuk Melakukan Eksperimen dan Eksplorasi.

          Di samping suasana yang apresiatif, perlu dikembangkan lingkungan  yang memberi ruang yang luas bagi siswa atau mahasiswa bereksperimen dengan dirinya dan  mengeksplorasi lingkungannya, khususnya lingkungan sosialnya. Untuk itu, kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler yang dirancang dan dilaksanakan oleh para siswa atau mahasiswa menjadi sangat penting artinya. Kegiatan seperti ini bisa berbentuk Himpunan Jurusan, Dewan Mahasiswa (dimasa lalu), Kabinet Mahasiswa, dan  Unit-unit Aktivitas yang menjadi tempat bagi para mahasiswa yang punya minat yang sama dalam bidang kesenian, olahraga, pendidikan, kewirausahaan dan yang lainnya untuk menyalurkan bakat atau minatnya melalui kegiatan yang terorganisir. 

 

        Organisasi kemahasiswaan yang sifatnya ekstrakurikuler seperti ini adalah ranah yang sangat baik bagi para siswa atau mahasiswa untuk belajar mengambil tanggung jawab dalam mendidik dirinya sendiri dan saling mendidik diantara rekan sejawat. Ini adalah komunitas di mana seorang mahasiswa menjalankan agenda pendidikan dirinya sendiri. Menurut pendapat saya, hasil utamanya bukan hanya mahasiswa yang lebih terampil pada bidang yang ditekuninya dalam olahraga, kesenian, atau bidang-bidang lain, namun mereka menjadi lebih matang. Dengan terlibat aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, seorang mahasiswa belajar mengemukakan gagasannya, belajar melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang, belajar meyakinkan orang lain, belajar memimpin orang lain, belajar memimpin diri sendiri, belajar menjadi pengikut  orang lain, belajar menghargai orang lain, belajar berbagi, belajar berkontribusi, belajar menghargai perbedaan, belajar berempati, belajar memegang nilai-nilai atau prinsip-prinsip hidup, belajar membuat rencana, belajar melaksanakan rencana yang sudah dibuat, belajar mengakui kelebihan orang lain, belajar mengakui kekurangan diri sendiri, belajar menjadi pemenang yang rendah hati, belajar menerima kekalahan dengan lapang dada, belajar bersikap sportif. Secara singkat, seorang mahasiswa dapat memanfaatkan organisasi kemahasiswaan untuk tempat pengembangan kematangan sosial. Ini adalah tempat yang dapat dipakai untuk mengasah diri dalam mengembangkan cita-cita hidup, karakter dan kecakapan sosial. Dalam unit-unit kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, seorang mahasiswa bisa memperoleh hal-hal yang tidak diperolehnya di dalam kelas dan pengalaman menjadi aktivis dalam organisasi ekstrakurikuler sering dirasakan menjadi salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan seseorang sesudah menyelesaikan studinya di perguruan tinggi.

 

Investasi Besar-besaran Pada Peningkatan Mutu Guru.

 

        Tidak ada pendidkan yang bermutu tanpa guru yang bermutu. Guru di sini mencakup guru pada semua jenjang pendidikan, dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Mengharapkan perbaikan mutu pendidikan tanpa perbaikan mutu guru adalah sebuah ilusi. Sayangnya, selama tiga dekade terakhir ini, para guru adalah kelompok  warga negara yang paling tidak menikmati hasil-hasil pertumbuhan ekonomi (baik dari manfaat sosial maupun manfaat ekonomik), dibandingkan dengan kelompok profesi lainnya. Dari pengalaman  bekerja sama dan berinteraksi dengan ribuan orang guru dan kepala sekolah selama 12 tahun terakhir ini saya berani menyatakan bahwa secara umum para guru dan kepala sekolah pada tingkat SMA dan SMP, bekal mereka sangat tidak mencukupi dalam hampir semua bidang yang diperlukan untuk menjadi seorang pendidik yang baik di awal abad 21 ini. Sekarang ini, guru-guru dan kepala sekolah kita masih merupakan kelompok masyarakat yang terisolasi dari perkembangan pengetahuan, metoda serta paradigma pendidikan yang baru. Hal ini terjadi bukan karena kemauan mereka, namun merupakan akibat dari cara negara kita  menangani pendidikan selama ini. Perbaikan mutu ini tidak ada hubungannya dengan sertifikasi guru.

 

       Rendahnya gaji para guru dibandingkan dengan profesi lain di Indonesia telah menyebabkan kurangnya penghargaan masyarakat terhadap profesi guru dan menjadikan profesi guru sebagai pilihan terakhir bagi banyak orang atau pemuda yang masuk ke perguruan tinggi. Pendidikan guru kalah bersaing dalam menarik calon mahasiswa yang berpotensi tinggi. Semua ini menjadi ’downward spiral’ dalam mutu guru di Indonesia. Di pihak lain, ketika pemerintah dan masyarakat ‘memberi’ hanya sedikit kepada para guru, pemerintah dan masyarakat menuntut sangat banyak dan tuntutannya makin meningkat, khususnya dalam hal mutu pendidikan. Kalau ada pihak yang tidak puas dengan mutu pendidikan, sering sekali  yang dijadikan kambing hitam adalah para guru.

 

          Kalau bangsa Indonesia ingin melakukan ‘turn around’ dalam bidang pendidikan, maka negara ini perlu segera mulai melakukan investasi besar-besaran dalam peningkatan mutu  guru. Posisi guru hendaknya dikembalikan sebagai ujung tombak dan pelaku utama dalam peningkatan mutu pendidikan, bukan diperlakukan sebagai ’pelengkap penderita’. Para guru hendaknya dibebaskan dari sistem dan suasana birokratik serta suasana feodalistik di lembaga-lembaga dan dinas-dinas pendidikan yang mengekang mereka untuk mengeluarkan potensinya yang terbaik. Kesejahteraan guru memang issue besar, namun peningkatan kesejahteraan hendaknya dijadikan bagian yang tidak terpisahkan dari peningkatan mutu guru. Perbaikan mutu dan peningkatan kesejahteraan guru inilah yang dilakukan oleh Pemerintah RRC dalam melakuka pembaharuan dan modernisasi pendidikan untuk  menyiapkan fondasi dari pembangunan  dan modernasi China yang berjalan sangat cepat sehingga  membuat dunia terperangah akhir-akhir ini. Pemerintah China memperkenalkan dan menerapkan kebijakan yang membuat profesi guru sebagai profesi yang membuat profesi lain ‘iri’ ( make teaching an enviable profession) [ 8]

 

PENDIDIKAN UNTUK MEMBANGUN KARAKTER: MULAI DARI MANA.

 

Mulai dengan yang Paling Dibutuhkan

          Pembangunan karakter tidak hanya untuk sebuah idealisme namun hal ini juga hendaknya memiliki makna nyata dalam membangun kesejahteraan hidup masyarakat. Sebab itu, pembangunan karakter pada tataran individu dan tataran masyarakat luas perlu bersifat kontekstual. Artinya, untuk Indonesia, karakter utama apa saja yang perlu dikuatkan agar bangsa Indonesia lebih mampu secepat mungkin meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

 

        Paterson dan Seligman, mengidentifikasikan 24 jenis karakter yang baik atau kuat (character strength). Karakter-karakter ini diakui sangat penting artinya dalam berbagai agama dan budaya di dunia. Dari berbagai jenis karakter, untuk Indonesia ada lima jenis karakter yang sangat penting  dan sangat mendesak dibangun dan dikuatkan sekarang ini yaitu: kejujuran, kepercayaan diri, apresiasi terhadap kebhinekaan, semangat belajar, dan semangat kerja. Karakter ini sangat diperlukan sebagai modal dasar untuk memecahkan masalah besar yang menjadi akar dari kemunduran bangsa Indonesia selama ini yaitu korupsi, konflik horizontal yang berkepanjangan, perasaan sebagai bangsa kelas dua, semangat kerja dan semangat belajar yang  rendah. 

 

         Lima jenis karakter ini hendaknya menjadi tema pengembangan karakter pada tataran nasional, tidak hanya pada tataran individual. Artinya, seluruh substansi, proses, dan iklim pendidikan di Indonesia, secara langsung atau tidak langsung hendaknya menyampaikan pesan yang jelas kepada setiap warga negara, apapun latar belakang suku, agama, ras dan golongan mereka, bahwa tidak ada bangsa Indonesia yang  sejahtera, berkeadilan dan bermartabat di masa depan tanpa kemampuan untuk bersatu dan maju bersama dalam kebhinekaan, tanpa kejujuran, tanpa kepercayaan diri, tanpa   belajar dan tanpa kerja keras. Dari lima karakter tersebut tidak ada yang sangat spesifik Indonesia, karena bangsa-bangsa lainpun mencapai kemajuan lewat usaha yang sungguh-sungguh untuk membangun negara yang relatif bersih dari korupsi, belajar memanfaatkan kebhinekaan sebagai kekuatan, belajar memecahkan konflik secara damai, terbuka untuk belajar dari mana saja, dan kerja keras. Masalahnya adalah bahwa Indonesia, dalam perjalanan sejarahnya selama setengah abad terakhir ini telah mengalami kemerosotan yang luar biasa, dalam lima karakter yang paling dasar yang diperlukan untuk menghela kemajuan dan kemakmuran bangsa. 

 

Membangun dan Menguatkan Kesadaran mengenai akan Habis dan Rusaknya  Sumber Daya Alam Indonesia.

        Sumberdaya alam kini sudah tidak bisa lagi dijadikan tumpuan untuk menciptakan kesejahteraan. Kalau Indonesia belum berhasil menciptakan tumpuan kesejahteraan baru yang bersumber dari kecerdasan, kredibilitas, kohesivitas, dan semangat kerja masyarakatnya, maka Indonesia akan tetap menjadi salah satu negara yang paling tertinggal di dunia. Dalam keadaan seperti itu, masa depan bangsa kita akan dikendalikan orang atau bangsa lain, atau dengan kata lain kita akan merelakan diri menjadi ’negara jajahan’ di era moderen. Memang proses penjajahan kini tidak dijalankan dengan kekerasan seperti di masa lalu, namun dilakukan dengan cara-cara yang sangat elegan, seperti membanjiri pasar Indonesia dengan barang-barang baru yang lebih kompetitif, mempengaruhi cara berpikir serta  kebijakan-kebijakan pembangunan. Adalah menjadi kewajiban moral generasi sekarang ini untuk mencegah terjadinya keadaan buruk seperti itu.

 

        Kesadaran di atas dibangun dan diperkuat pada setiap warga masyarakat, pada anak-anak, pada pemuda, pada orang tua, di semua daerah, di semua sektor kehidupan. Membangun kesadaran baru ini adalah langkah utama dalam upaya bangsa ini untuk mendidik dirinya sendiri, mengembangkan semangat belajar, dan semangat kerja.  Ini menjadi tugas setiap orang, apapun peran dia: orang tua, guru, jurnalis, pejabat negara, politisi, pegawai pemerintah, aktivis LSM, pengusaha, pekerja swasta, rohaniwan. 

 

Membangun dan Menguatkan Kesadaran serta Keyakinan Bahwa Tidak Ada Keberhasilan Sejati di Luar Kebajikan.

 

           Pada banyak orang di Indonesia sekarang ini berkembang pandangan bahwa kejujuran akan menjadi penghambat dalam mencapai keberhasilan usaha atau pengembangan karir. Pandangan ini banyak dianut di lingkungan orang-orang yang bekerja di lingkungan birokrasi pemerintah dan perusahan yang banyak mendapat proyek dari pemerintah. Pandangan seperti ini nampaknya didasarkan pada pengamatan tentang adanya orang-orang yang dikenal jujur lalu ’tidak dipakai’ di kalangan birokrasi dan banyak media menampilkan tokoh yang disebut ’berhasil’ namun di mata publik tokoh tersebut dianggap berbisnis dengan tidak mengindahkan etika dan memanfaatkan koneksinya dengan para pemegang kekuasaan. Dalam menjalankan fungsinya untuk membangun karakter, tugas besar pendidikan di Indonesia adalah membongkar pandangan seperti ini. Pendidikan di Indonesia dengan cara-cara  yang kreatif hendaknya dapat membangun kesadaran dan keyakinan pada guru dan siswa atau mahasiswa bahwa dalam kehidupan ini tidak ada keberhasilan sejati di luar kebajikan; bahwa kehidupan yang membawa rahmat bagi masyarakat luas adalah kehidupan yang dibangun dengan  kebajikan, dan salah satu dari kebajikan tersebut adalah kejujuran. Proses dan lingkungan pendidikan hendaklah dapat menumbuhkan dan menguatkan kesadaran dan keyakinan bahwa tidak ada cara yang benar untuk melakukan hal yang salah (there is no right way to do the wrong things); bahwa keberhasilan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh apa yang dia capai, tetapi juga oleh cara-cara mencapainya. Pendidikan hendaknya dapat menjauhkan masyarakat Indonesia dari sikap ’tujuan menghalalkan cara’.

 

Membangun Kesadaran dan Keyakinan bahwa Kebhinekaan Sebagai Hal yang Kodrati dan Sumber Kemajuan.

         Hanya sedikit sekali bangsa di dunia yang dianugrahi kebhinekaan seperti Indonesia. Indonesia sangat bhineka dari berbagai aspek: flora, fauna, suku, adat istiadat, bahasa, agama dan sistem kepercayaan. Kebhinekaan dalam kehidupan di bumi ini adalah hal yang kodrati. Kebhinekaan secara biologis telah menjadi sumber kekuatan. Bibit-bibit unggul atau generasi baru yang lebih baik, lahir dari persilangan beraneka jenis species atau varietas. ’Persilangan’ dari yang sejenis tidak akan membawa keunggulan, bahkan akan mewariskan kelemahan. Kehidupan di dunia ini tidak akan berlangsung lama apabila tidak ada kebhinekaan, atau apabila hanya ada sejenis tumbuhan, atau sejenis hewan, sejenis manusia, dan semuanya berfikir dengan cara yang sama.

 

      Dalam pendidikan formal ini berarti, substansi, sistem, dan lingkungan pendidikan perlu secara sistematik mencegah tumbuhnya arogansi sosial yang didasari keyakinan agama, suku, atau golongan atau ras, mencegah berkembangnya eksklusifisme, kecenderungan bersikap diskriminatif dan pada saat yang sama menganjurkan berkembangnya inklusivisme. Pendidikan hendaknya memberikan perhatian yang lebih besar pada upaya menemukan kesamaan di tengah-tengah perbedaan, bukan sebaliknya justru hanya membesar-besarkan perbedaan dan mengabaikan kesamaan.

 

Membangun Kesadaran dan Menguatkan Keyakinan Bahwa  Tidak Ada Martabat yang Dapat Dibangun dengan Menadahkan Tangan.

          Berpuluh-puluh tahun Indonesia menyandarkan pembangunan ekonominya pada hutang luar negeri. Setiap tahun, selama lebih dari 30 tahun pejabat tinggi republik ini ber-ramai-ramai pergi ke luar negeri untuk minta kerelaan para pemilik dana untuk bersedia meminjamkan uangnya–dibungkus dengan nama bantuan -kepada Indonesia. Hal yang mengganggu bukanlah hutangnya, namun sikap pejabat kita ketika mendapatkan hutang. Di media masa, selama bertahun-tahun ditimbulkan kesan bahwa misi para pejabat ini makin berhasil apabila pinjamannnya makin besar. Para pembesar lebih bangga kalau dapat hutang lebih besar. Karena ’pesan’ seperti ini terus menerus disampaikan melalui media masa dan diikuti oleh masyarakat luas, lama-kelamaan terjadi anggapan bahwa menadahkan tangan itu normal, bahkan membanggakan. Pendidikan untuk membangun karakter bangsa harus mengikis pandangan seperti ini. Substansi, proses dan lingkungan pendidikan hendaknya menjauhkan generasi muda Indonesia, masyarakat Indonesia pada umumnya, dari kebiasaan hidup menadahkan tangan, dan membangun keyakinan bahwa seseorang atau suatu bangsa tidak akan pernah menjadi orang atau bangsa yang bermartabat, apabila orang atau bangsa bersangkutan senang menadahkan tangan, menjadi peminta-minta, atau hidup dengan meminta dari orang atau bangsa lain. Sebaliknya, pendidikan haruslah dapat menumbuh dan menguatkan kesadaran dan keyakinan bahwa kemajuan dan keberhasilan yang sebenarnya memerlukan usaha keras, perjuangan, dan keteguhan hati. Pada dasarnya, dalam hidup ini tidak ada yang namanya ’makan siang gratis’; yang mau berhasil harus berusaha dan bekerja keras dan bekerja cerdas serta  bisa mengendalikan diri.  

 

Menumbuhkan Kebanggaan Berkontribusi.

        Seorang warga negara yang selalu setia membayar pajak sesuai dengan peraturan pada suatu hari ditanya oleh rekannya, mengapa dia melakukan hal itu, sementara orang-orang lain selalu berusaha mencarai akal untuk tidak membayar pajak, atau menghindari pajak. Dia menjawab singkat, ’dalam hidup ini, saya bangga sebagai seorang kontributor’.

 

     Suatu negara tidak akan pernah maju apabila para pemegang kekuasaan dan kroni-kroninya ramai-ramai menggerogoti atau merampoknya, namun sedikit orang yang berkontribusi untuk kemajuannya. Indonesia termasuk salah satu negara yang digerogoroti beramai-ramai oleh sebagian warganya sendiri melalui tindakan korupsi atau tidak melakukan kewajiban sebagai warga negara yang baik.

 

         John F. Kennedy sangat terkenal dengan pidato pelantikannya sebagai Presiden Amerika Serikat yang berjudul ’Ask not what the country can do for you; ask what you can do for your country’ [9]. Pesan pidato ini sangat jelas, yaitu mengobarkan semangat untuk berkontribusi. Pesan ini sebenarnya berlaku bagi setiap warga negara dari negara manapun di dunia yang menginginkan negaranya berjaya. Semangat  seperti inilah yang telah ditunjukkan dalam tindakan nyata oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia, yang menghantarkan bangsa ini kepada kemerdekaan, jauh sebelum John F Kennedy menjadi presiden Amerika Serikat.  Sayangnya, di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan dengan berkembangnya kebiasaan menadahkan tangan pada pemilik modal luar negeri dan membiaknya kleptokrasi, surut juga semangat untuk berkontribusi. Banyak orang memakai kekuasaan yang dipercayakan kepadanya, bukan untuk berkontribusi, tetapi untuk mencuri atau merampas kekayaan negara.

 

        Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia, secara sistematik perlu diarahkan untuk mengembangkan kembali kebanggaan berkontribusi ini. Kebiasaan memberi atau menyumbang, dalam bentuk apapun, sekecil apapun, untuk kebaikan masyarakat hendaknya dijadikan salah satu fokus perhatian dalam membangun karakter. Kebiasaan seperti ini haruslah diberi apresiasi atau diberi penghargaan.

 

CATATAN PENUTUP

       Perlu digaras-bawahi bahwa pendidikan untuk membangun karakter bukan barang baru untuk Indonesia. Masyarakat di Nusantara ini di masa lalu sudah melakukannya, bahkan dengan  cara-cara yang kreatif melalui berbagai media atau melalui cerita-cerita rakyat, cerita untuk  anak-anak, tradisi, petuah-petuah, permainan anak-anak, yang banyak manfaatnya dalam pengembangan karakter. Di atas juga sudah disampaikan bahwa para ‘founding fathers’ dari Republik ini memperjuangkan kemerdekaan dengan memusatkan perhatian pada pembangunan karakter.

 

         Pesan yang sangat jelas mengenai pentingnya pembangunan karakter sudah disampaikan oleh W.R. Supratman dalam lagu Indonesia Raya, ’…Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya’. W.R. Supratman menempatkan pembangunan ‘jiwa’, sebelum pembangunan ‘badan’, bukan sebaliknya. Pembangunan karakter adalah pembangunan ‘jiwa’ bangsa.

 

        Sekarang, kita berada di abad 21, dalam era dunia tanpa batas dan persaingan terbuka. Tantangan atau godaan yang dihadapi seseorang dan sebuah bangsa dalam pembangun karakter jauh lebih besar dan lebih kompleks. Sebab itu, usaha yang lebih besar dan kreatifitas yang lebih tinggi diperlukan untuk menjawab tantangan tersebut. Dan dalam menjalankan usaha pembangunan karakter ini, kita harus mengandalkan potensi kita sendiri,  kita tidak bisa berpaling pada orang lain. Arah dari semua usaha ini adalah membangun Indonesia adil dan sejahtera yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan [10]. Ini memang bukan perjalanan mudah, namun kearifan lokal kita mengajarkan ’di mana ada kemauan, di sana ada jalan’, ’berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian’. Kita bisa kalau kita mau.

 

 

 

 

Bandung, 29 Juni  2007.

REFERENSI

 [1] ………., Depag, Lembaga Paling Korup, Harian Umum Pikiran Rakyat, 18

      Oktober 2006.

[2] Victoria Neufeld (Editor in Chief) & David B. Guralnik (Editor in Chief

       Emeritus), Webster New World Dictionary, Third College Edition ( Prentice Hall,

       1991).

[3] Christopher Paterson and Martin E.P. Seligman, Character Strengths and Virtues :

      A Handbook and Classification, (Oxford University Press, 2004).

 

[4]  Richard  N. Foster& Sarah Kaplan, ’ Creative Destruction’, (Prentice Hall,

       London,   2001)

[5]  Peter M. Senge et.al , ‘The Fifth Disciplin Field Book’, (Currency Doubledays,

      NewYork, 1994), p.237.

 

[6] Yudo Anggoro, Pengaruh Lingkungan Apresiatif  terhadap Kinerja Bermakna,     

       Tugas Sarjana, Departemen Teknik Industri- Institut Teknologi Bandung, 2004,

       tidak dipublikasikan. 

 

[7] Abdulah Afe Suryobuwono, Pengaruh Lingkungan Apresiatif terhadap Perilaku       

       Kerja Inovatif,  Tugas Sarjana, Departemen Teknik Industri- Institut Teknologi

       Bandung, 2005, tidak dipublikasikan.

 

[8] Li Lanqing, ’ Education for 1.3 Billion’, (Foreign Language Teaching and

     Research Press, China & Pearson Education Asia Ltd., 2005).

 

[9]  John F. Kennedy, ‘Ask not what your country can do for you; ask what you can

       do for your country’, Inaugural Address , 20 January 1961 , Speech that Change

      the World, ( Quercus Publishing Ltd. 2006).

 

[10]  Pidato Presiden Sukarno tanggal 17 Agustus 1964

 

 


[*] Guru Besar, Fakultas Teknologi Industri, Institut TeknologI Bandung.

 

bottom of page