top of page

Mahasiswa (tanpa/penuh)* Kesadaran

       Tanpa terasa waktu pun berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin kita menyanyikan lagu anak sembari berlari dan bermain ayunan di Taman Kanak-Kanak (TK). Tempo hari kita tersenyum gembira memakai seragam merah-putih. Dan kemarin, seperti dalam mimpi saja, kita merayakan kelulusan. Bahkan seragam putih-abu-abu yang dipenuhi “prasasti” coretan pun masih tersimpan rapi dalam kamar kita.

Tak terasa, kini kita telah menyandang status: mahasiswa.

 

     Tapi hanya sebatas itukah? Berganti status dan kartu identitas? Berganti seragam, dari putih-abu-abu menjadi pakaian bebas-rapi? Cukupkah?

 

       Mahasiswa adalah proses pematangan intelektual. Sukarno menemukan geliat kebangsaannya semenjak duduk di bangku kuliah. Bahkan ia tak gentar dengan Rektornya (waktu itu orang Belanda) yang berusaha menghentikan aktivitas gerakan kebangsaan yang dilakoninya. Senada dengan Sukarno, Hatta pun menekuni gerakan Indische Vereeniging sejak awal kuliah, yang menjadi kawah candradimuka Hatta untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan karena aktivitas politiknya, Hatta kemudian disidangkan di pengadilan Belanda pada Maret 1928. Namun ia tunjukkan keyakinan akan Indonesia Merdeka. Dalam pledoinya, Hatta berkata:

 

“Masa mudanya bukan bulan terang seperti masa mudanya putra bangsa yang merdeka. Pada masa mudanya mereka menderita dan memberikan berbagai pengorbanan. Tetapi, semuanya ini membina pikirannya dan karakternya dalam perjuangan untuk cita-cita yang mengusik dan memanggil. panggilan suara rakyat Indonesia yang banyak serasa terdengar dan menggembirakan mereka, dan bersama dengan rakyat banyak itu mereka mau berjuang.

….

Hanya satu yang dapat disebut tanah airku. ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu ialah usahaku.”

 

Akhirnya, kita mengenal Sukarno sekaligus Hatta sebagai orang yang mengantarkan Indonesia mengetuk pintu kemerdekaan.

 

***

       Saya tak hendak membawa ke romantisme perjuangan masa lalu. Tapi mengingat dan merenungkan kembali perjuangan pahlawan nasional, memberikan spirit sekaligus cambukan, bahwa: kita belum berbuat apa-apa!

       Ya, medan perjuangan saat ini mungkin berbeda. Kini Indonesia telah merdeka. Tak lagi dijajah secara nyata. Tapi bukan berarti kita berhenti berjuang. Seperti kata Sukarno: revolusi belum selesai.

       Tengoklah sekitar kita. Lingkungan kelahiran hingga beranjak dewasa. Adakah kemajuan? Sungai-sungai yang mungkin sering jadi arena bermain yang sekarang mulai tercemar. Bangku-bangku SD yang mulai digerogoti rayap. Sawah-sawah yang tak lagi menghijau. Tetangga yang masih tak bisa membaca di zaman Facebook ini. Anak-anak yang tak menikmati pendidikan. Dan segudang persoalan sosial lainnya.

       Keadaan itulah yang menanti tangan ajaib mahasiswa. Layaknya seorang Midas yang mampu merubah apa pun yang disentuhnya menjadi emas, maka kondisi sosial yang “mengharukan” itu perlu diubah oleh tangan-tangan mahasiswa. Bukan malah menjadi komoditi reality show!

       Lantas, kenapa ribuan mahasiswa itu tak bergerak? Kenapa para mahasiswa malah sibuk menghabiskan waktunya dalam ruang kuliah dan kos semata? Apakah para intelektual itu cukup menjadi pengamat dan berkutat dalam menara gading?

       Ketiadaan kesadaran adalah penyebabnya. Kehilangan kesadaran membuat intelektual miskin inisiatif dan kepedulian. Akibatnya usia mahasiswa terasa pendek. Hari ini kita sibuk Ospek, dan sekali lagi, tanpa terasa sebentar lagi kita telah wisuda. Tanpa pernah berbuat untuk masyarakat. Tanpa pernah merasa berbuat untuk bangsa.

        Mahasiswa adalah seorang intelektual, dan intelektual dalam pengertian Antonio Gramsci berarti;

 

“kesalahan intelektual terletak pada mempercayai bahwa seseorang dapat mengetahui tanpa merasakan. dengan kata lain bahwa seolah-olah seorang inteletual dapat menjadi intelektual (dan tidak hanya sekadar “orang pintar”) jika berbeda dan dipisahkan dari masyarakat; yaitu tanpa merasakan gerak, getaran dan gairah yang timbul di masyarakat. Kita tidak dapat membuat sejarah politik tanpa gairah ini.”

 

       Sayyid Quthb berpesan bahwa usia bukanlah bilangan waktu, tapi usia adalah bilangan kesadaran. Maka, mahasiswa bukan semata identitas. Usianya tak dihitung semenjak menerima KTM (Kartu Tanda Mahasiswa). Mahasiswa adalah kata kerja yang mengabdikan dirinya untuk perubahan. Menjadi mahasiswa berarti menjadi orang yang akan mendekatkan realitas kondisi sosial kini dengan idealitas yang dicita-citakan seluruh bangsa Indonesia.

*Silahkan coret salah satu setelah membaca dan merenungkan tulisan ini.

 

Triyanto P. Nugroho, mantan Menteri Departemen Sosial Politik Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ReMa UNY.

 

 

 

bottom of page