top of page

Mahasiswa Anggun Beretika, Unggul Akademik

oleh: Asri Widowati,M.Pd.

 

       Sebuah bangsa adalah kumpulan dari tata nilai (values). Sendi sendi yang menopang sebuah bangsa umumnya adalah berupa karakter dan mentalitas rakyatnya yang menjadi pondasi yang kukuh dari tata nilai bangsa tersebut. Keruntuhan sebuah bangsa umumnya ditandai dengan semakin lunturnya nilai nilai bangsa tersebut, walaupun secara fisik bangsa tersebut sebenarnya masih eksis. Meskipun sudah bukan barang baru, namun harus diakui bahwa fenomena globalisasi adalah dinamika yang paling strategis dan membawa pengaruh dalam tata nilai dari berbagai bangsa termasuk bangsa Indonesia. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai ancaman yang berpotensi untuk menggulung tata nilai dan tradisi bangsa kita dan menggantinya dengan tata nilai pragmatisme dan populerisme asing. Di pihak lain, globalisasi adalah juga sebuah fenomena alami, sebuah fragmen dari perkembangan proses peradaban yang harus kita lalui bersama.

       Kondisi riil saat ini karakter bangsa Indonesia semakin melemah. Hal itu dapat dilihat dari semakin banyaknya gejala penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan,m kecurangan, kebohongan, ketidakadilan, dan ktidakpercayaan. Penegak hokum yang semestinya harus menegakkan hukum, ternyata harus dihukum; para pejabat yang seharusnya melayani masyarakat, malah minta dilayani; dan ada juga sebagian kecil kaum intelek yang malah berulah melakukan tawuran, dan korupsi. Hal ini merupakan sebagian fenomena yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari, yang mana semua ini bersumber dari karakter. Anis Matta (2002) mensinyalir terjadinya krisis karakter tersebut, antara lain disebabkan oleh: (a) hilangnya model-model kepribadian yang integral, yang memadukan keshalihan dengan kesukesan, kebaikan dengan kekuatan, kekayaan dengan kedermawanan, kekuasaan dengan keadilan, kecerdasan dengan kejujuran; (b) munculnya antagonism dalam pendidikan moral, di satu sisi sekolah mengembangkan kemampuan dasar individu untuk menjadi produktif, disisi lain media massa justru mendidik masyarakat untuk konsumtif.  Meaning of life menjadi kabur. Kebingungan ini pada gilirannya mendatangkan masalah etis, yaitu prinsip moral yang perlu dikaji lebih lanjut untuk menentukan apa yang benar, baik dan tepat. Apa yang baik dan buruk menjadi relatif.

       Dalam hal ini, generasi muda, termasuk kalangan mahasiswa merupakan komponen bangsa yang paling rentan dalam proses amalgamasi tata nilai dan budaya, peran kritis generasi muda dalam pembangunan dan pemberdayaan karakter kebangsaan yang positif, yang menunjang pada kemandirian bangsa di tengah terpaan arus globalisasi sebatas tata wacana atau kumpulan buku-buku dan referensi tanpa adanya upaya konkrit untuk menginternalisasikannya dan untuk selanjutnya menjadi landasan dalam proses perubahan sikap maupun perilaku, baik bagi individu maupun masyarakat dan bangsa. Upaya-upaya untuk mencapai suatu proses internalisasi pengetahuan yang kemudian dapat berlanjut sampai dengan terjadinya suatu pergantian tersebut.

      Mahasiswa sebagaimana generasi muda pada umumnya memiliki peranan penting, antara lain: (1) sebagai pembangun-kembali karakter bangsa (character builder); (2) sebagai pemberdaya karakter (character enabler); dan (3) sebagai perekayasa karakter (character engineer). Hal yang berat bagi mahasiswa adalah untuk memainkan ketiga peran tersebut secara simultan dan interaktif. Tanpa adanya peran aktif mereka dalam gerakan revitalisasi kebangsaan yang dimaksud di atas, maka bukan tidak mungkin penggerusan nilai-nilai budaya bangsa akan berjalan terus secara sistematis dan pada akhirnya bangsa ini akan semakin kehilangan integritas dan jati-dirinya.

       Mahasiswa merupakan insan  terdidik yang mana perilaku sehari-hari akan menjadi acuan masyarakat sekitar, dan melalui keteladanan akan memberi pengaruh positif terhadap pembentukan warga masyarakat sekitar. Artinya pada diri mahasiswa ada proses mulai dari mendengar atau melihat, memahami, menyadari, dan mengambil keputusan untuk melakukannya. Dalam kaitan ini  ada tiga asas yang perlu diperhatikan. Aspek pertama “komitmen” yang memiliki arti senantiasa ingin melaksanakan sesuatu dengan baik dan benar; aspek kedua adalah adanya “kesadaran” yang merupakan dimensi moral yang dimiliki seseorang untuk memahami dan menerima serta menentukan pilihan-pilihan dalam situasi yang konkrit dengan mendasarkan pada aturan yang ada; aspek ketiga adalah “kompetensi” yang menunjukkan kemampuan melakukan pengambilan keputusan berdasarkan pertimbangan moral, yang mencakup apa saja yang ada dan menentukan pilihan dari berbagai alternatif tersebut.

       Dalam kehidupan kampus, institusi akademik, tentunya sangat didambakan munculnya kultur universitas yang sehat dan kondusif, sehingga men-encourage semua sivitas akademik, termasuk mahasiswa untuk berlomba-lomba meraih prestasi yang unggul. Prestasi yang unggul dalam konteks ini tidak hanya dibatasi prestasi akademik saja, melainkan juga keluhuran akhlaq, keangguanan beretika. Mahasiswa diarahkan tidak saja menguasai pengetahuan tetapi kepada intellectual curiosity, tidak saja kepada keterampilan manual dan intelektual tetapi juga kepada life skills (beriman, berakhlak mulia, memiliki etos kerja dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan) dan perkembangan yang menyeluruh dari setiap individu serta bersedia to live together dalam dunia yang semakin diwarnai oleh konflik sosial. Perubahan mind set ini sangat diperlukan agar terciptanya kondisi yang nyaman dan damai.

       Mahasiswa yang beretika anggun dan unggul akademik akan memiliki integritas tinggi, memiliki kejujuran, keberanian dan kemandirian. Mereka juga mampu untuk memfilter pengaruh negatif  dari luar, dan mampu berkontribusi dalam mewarnai masyarakat dan bangsa dengan nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Karakter mahasiswa tangguh diperlukan bagi pembangunan bangsa. Bangsa yang mempunyai karakter tangguh tercermin pada moral, etika, dan budi pekerti yang baik serta mempunyai semangat, tekad, dan energi kuat, dengan pikiran positif dan sikap yang optimis serta dipenuhi rasa persatuan dan kebersamaan yang tinggi. Tentunya kita juga harus menyadari bahwa setiap perubahan, inovasi atau reformasi pada awalnya selalu berhadapan dengan keengganan untuk berubah. Oleh karenanya, sangat diperlukan sinergi dengan semua pihak di institusi akademik, dan keterlibatan semua pihak untuk menghindari sekecil apapun konflik antar sesama. Hidup mahasiswa!Anggun beretika, unggul akademik yess! Jaya Indonesia!!

 

 

 

bottom of page